Tren menjual pakaian impor bekas masih tetap digandrungi dan peminatnya bisa dikatakan masih banyak. Selain ditinjau dari faktor ekonomi, tren ini juga menunjukkan budaya dan identitas pembelinya. Bisnis pakaian bekas bukan semata-mata muncul karena ada permintaan dari si miskin yang tak mampu membeli pakaian baru. Bisnis ini juga muncul karena ada kebutuhan terhadap gengsi.
Meskipun sempat terjadi kontroversi soal pakaian impor bekas yang mengandung banyak bakteri hingga Kementrian Perdagangan mengeluarkan Larangan Impor Pakaian Bekas (Permendag 51/2015) tanggal 9 Juli 2015. Namun, keputusan tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Akan tetapi, hingga tahun 2020, bisnis pakaian impor masih setia digandrungi dan memiliki peluang keuntungan yang cukup besar. Refano Lionel (20 tahun), pemilik dari store online bernama Yourninties, telah 2 tahun belakangan menggeluti usaha pakaian impor bekas bertema “Vintage dan Retro” miliknya. Omzet yang ia raih dalam sebulan paling minim adalah 1,5 juta dan paling besar bisa sampai 3 juta. Untuk skala bisnis yang bisa dikatakan kecil, dan hanya membuka toko via instagram. Yourninties terus bertahan dan mengembangkan katalog produknya tiap beberapa bulan.
Di Pasar Santa, Blok M, sebuah toko bergaya khas retro dan vintage bernama Konkubin telah berdiri sejar 2,5 tahun silam. Anggi (25 tahun) pemiliknya mengaku sudah 10 tahun menjalani bisnis pakaian impor bekas dan kini memiliki store lainnya di Kemang, Jakarta Selatan.
Produk yang ia jual dari asesoris hingga pakaian yang memiliki rentang harga 30 ribu sampai 1,2 juta. Peminatnya sendiri tidak hanya datang dari Jakarta, Anggi mengatakan pelanggannya juga datang dari Bandung.
Selain itu faktor lain yang mendukung bisnis ini masih setia digandrungi peminatnya karena baju bekas impor yang tidak memiliki stok yang sama dengan pakaian yang dijual.
“Kemungkinan besar [pakaian] yang lu (pelanggan) dapet, lu (pelanggan) suka, ya cuma lu (pelanggan) yang pake (otentik).” pungkas Anggi.